Soe Hok Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani
(By John R. Maxwell)


Size | 28 MB (28,087 KB) |
---|---|
Format | |
Downloaded | 682 times |
Last checked | 15 Hour ago! |
Author | John R. Maxwell |
Sebagai seorang aktivis mahasiswa, ia adalah pribadi yang istimewa. Hal itu tampak melalui cakrawala pemikirannya yang visioner, militansinya yang nyaris tanpa batas, serta komitmennya yang kukuh pada prinsip-prinsip demokrasi dan humanisme universal.
Karakter demikianlah yang selanjutnya menghadirkan sosoknya sebagai intelektual dan humanis sejati. Dialah almarhum Soe Hok Gie, sosok intelektual muda pendobrak tirani Orla yang dibahas oleh John Maxwell dalam bukunya, Soe Hok Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani.
Soe Hok Gie bukanlah nama yang populer. Bahkan, sebagai aktivis mahasiswa, sosoknya hanya dikenal oleh komunitas masyarakat terbatas. Pikiran dan sepak terjang perjuangannya tidak banyak diketahui publik di Tanah Air. Menurut penulisnya, hal itu karena kendati pernah terlibat secara aktif dalam politik, ia berbeda dengan para tokoh politik dari generasinya. Ia tidak mencurahkan seluruh hidupnya untuk politik.
Kehidupannya yang tergolong singkat, yakni hanya 27 tahun, juga tidak banyak memberikan peluang padanya untuk mengukir prestasi gemilang, baik secara individual maupun politis. Walau demikian, menyimak kegigihan perjuangannya, sukar untuk membantah bahwa anak muda ceking keturunan Tionghoa itu adalah seorang intelektual dan pejuang yang luar biasa.
Dalam konteks demikian, selain menambah khazanah studi Indonesia modern tentang biografi tokoh-tokoh politik, penerbitan buku ini juga memperluas peluang publik untuk lebih memahami pandangan dan sepak terjang politik adik kandung sosiolog Arief Budiman ini. Lebih dari itu, buku ini memiliki nuansa lain dibandingkan dengan biografi tokoh-tokoh politik yang telah ada sebelumnya semisal biografi tentang Soekarno, Hatta, Sjahrir, ataupun Soeharto.
Karena berbeda dengan biografi-biografi tersebut, yang notabene mengulas para tokoh politik terkemuka, biografi yang satu ini justru membedah seorang tokoh "minor" dalam politik Indonesia. Minor dalam pengertian, meskipun merupakan salah satu tokoh dalam pergerakan mahasiswa dekade 1960-an, ketokohan politiknya tidak pernah dikenal luas di Indonesia. Posisinya dalam peta politik nasional pun tidak pernah cukup sentral jika dibandingkan dengan para tokoh di atas.
Selalu Memberontak
Maxwell melukiskan, sebagai intelektual, komitmen Soe Hok Gie untuk menegakkan kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan tidak perlu disangsikan lagi. Jiwanya selalu memberontak tatkala menyaksikan berbagai praktek dehumanisasi, pengingkaran demokrasi, dan pelecehan terhadap akal sehat. Keberpihakannya pada nilai-nilai prinsipil itu membuatnya tidak memedulikan siapa pun yang mesti dihadapinya dan risiko apa pun yang bakal menimpanya. Yang ia kehendaki hanyalah "yang lurus-lurus" saja.
Sebagai intelektual non-partisan, demikian Maxwell, loyalitasnya hanyalah pada nilai-nilai, melampaui segala sekat dan kepentingan. Ia adalah intelektual bebas yang tidak terjebak pada interest tertentu, entah itu kapital, kuasa, ataupun pamrih politis.
Sikap antinya terhadap ketidakadilan sesungguhnya telah tumbuh sejak usia dini. Sementara, benih perlawanannya terhadap penguasa Orla berawal saat ia masih duduk di bangku SMA. Suatu ketika, ia bertemu dengan seseorang, yang jika dilihat dari penampilannya, bukanlah pengemis. Namun, orang itu kelaparan, dan untuk mengobati rasa laparnya, orang itu terpaksa makan kulit mangga. Karena tak tega, Hok Gie akhirnya memberikan seluruh uang yang dimilikinya pada orang itu.
Sebenarnya pengalaman itu bukanlah hal yang luar biasa di Jakarta. Menjadi luar biasa karena peristiwa itu terjadi tak jauh dari istana kepresidenan, tempat yang saat itu menjadi simbol kemewahan dan keglamoran. Kenyataan pahit itu semakin mengentalkan kebenciannya kepada penguasa Orla.
Sikap kritisnya terhadap pemerintah Orla semakin mengental saat ia menjadi mahasiswa UI, bertepatan dengan kian menguatnya otoritarianisme dalam politik dan kegagalan pemerintah dalam mengatasi perekonomian Indonesia yang merosot tajam. Dalam berbagai refleksi kritisnya di media massa, peme-rintah Orla senantiasa jadi sasaran utama kritikannya.
Ketidakpuasannya terhadap berbagai pembatasan kebebasan berbicara yang dilakukan oleh Demokrasi Terpimpin melalui sensor pers dan pelecehan terhadap lawan-lawan politik bung Karno membuatnya semakin intensif melontarkan kecaman-kecaman terhadap pemerintah Orla.
Mengin...”